Jumat, 02 Juni 2017

Sepotong Cerita di Kereta

Aku diam, menjadi pendengar, dan wanita di depanku masih terus bercerita. Seorang wanita berumur 32 tahun. Cantik, dewasa, dan menarik, kalau saja aku tak tahu ada yang hal yang aneh darinya.

Dia belum menikah, tak ingin menikah tepatnya. Dia tak percaya pada lelaki karena memercayai sembarang lelaki sama saja dengan mempercayai nasib buruk. Bahkan dia tak percaya pada ayahnya sendiri. Apalah arti menikah, hidup bersama, tapi akhirnya saling berpisah, atas nama cinta juga.

Orangtuanya bercerai. Ayahnya memilih untuk hidup dengan wanita lain, bukan ibunya. Kalau saja seperti itu, seharusnya ayahnya dulu tak menikahi ibu. Ayahnya membunuh hidup ibunya, menyakiti dalam diam. Dan dia, wanita yang duduk di depanku, luka hatinya sangat dalam.

Aku tahu dia tak membenci pernikahan, dia hanya membenci perceraian. Aku diam, tak ingin bicara, apalagi menasehatinya tentang indahnya pernikahan, indahnya hidup berbagi dengan lelaki yang dicintai, berbagi bahagia, berbagi keluh kesah. Aku diam. Karena dia sudah membuat bentengnya sendiri...

(Prambanan Ekspress Solo-Jogja)

Selasa, 30 Mei 2017

Saat itu badan saya sedikit lelah selepas bekerja dan ponakan saya meminta diajari membaca. Karena dia terus merengek, akhirnya saya menyanggupi untuk mengajari. Tak lama, karena saya menganggap saya jauh lebih tua, yang berarti saya lebih pintar-sombongnya-, kesabaran saya saat mengajari ponakan mulai menipis.
"Ini gampang banget, begini lho caranya bukan begitu," kata saya.
"Tante kok marah sih, kan aku masih kecil, belum bisa makanya minta diajari," protes ponakan saya.
Oke, kena sekali!

Jadi, soal menghadapi dan mengajari anak kecil, sebenarnya siapa yang belajar dari siapa? dan siapa yang mengajari siapa? saya kira saya juga banyak belajar dari dia.
Dia yang protes pada saya ketika saya mulai tak sabar mengajarinya. Dia yang banyak bertanya hingga saya harus memutar otak menyiapkan jawaban yang mudah dicerna anak seumurannya.
Dia yang mengajari saya bagaimana cara menjadi ibu yang baik...
Saya calon ibu dan lulusan kependidikan. Saya akan belajar dan terus belajar, bahkan kepada anak kecil....

Tempuran

Warga desa Randu Alas geger lagi. Subuh baru beranjak ketika seorang melolong minta tolong. Suaranya berasal dari daerah Tempuran. Warga berkumpul sebelum memutuskan beramai-ramai bergegas ke arah suara. Di tangan mereka menyala-nyala cahaya lentera, menebas rimbunnya semak dan jejeran pepohonan. Daun-daun bergemerisik risau. Serangga hutan menjerit-jerit. Sepagi ini manusia-manusia sudah bikin ulah mengganggu kidung mereka.

Berdiri disana, di sekitar sungai, si peminta tolong yang pasi menunjuk-nunjuk ke arah sungai. Tertelungkup di atas batu sungai ada sesosok jenazah.
"Innalillahi waina ilaihi raji'un," suara penanda musibah terucap silih berganti. Warga saling tatap, bertanya-tanya siapa di antara mereka yang akan turun mengurus jenazah. Mereka semua bergidik ngeri. Tapi tak lama, tiga lelaki muda yang berani segera menggotong jenazah naik. Mereka kaget, jenazah tersebut adalah mbah Giman, sesepuh desa Randu Alas yang dikenal karena kewibawaannya.

Surau segera mengabarkan berita lelayu. Tak sakit dan tak kurang suatu apapun tiba-tiba pagi ini mendapati kabar mbah Giman sudah meninggal, padahal baru kemarin mbah Giman didapuk menjadi pembicara di acara pernikahan tetangga. Hari ini aktifitas pagi warga desa terhenti demi melayat ke rumah duka.

Bisik-bisik bagaimana meninggalnya mbah Giman menjalar. Kabar pertama yang menguar, mbah Giman meninggal karena tenggelam terbawa arus sungai. Kabar berikutnya datang dari seorang yang sudah mengintip jenazah ketika melayat, mbah Giman meninggal karena terpeleset di sungai, pingsan, dan meninggal, katanya terlihat dari jenazah yang mulutnya terkatup dan tak seteguk air pun tertelan, hanya terlihat luka di sekitar mata dan mulut karena digerogoti yuyu*. Namun, yang paling membuat warga bertanya-tanya adalah kenapa mbah Giman meninggal di daerah Tempuran?.

*

Tempuran adalah sungai di sudut desa Randu Alas yang menjadi titik pertemuan arus sungai Kecamatan dengan arus sungai desa Randu Alas. Hanya satu dua orang berani kesana itupun berkaitan dengan hal mistis. Selain karena sekitar sungai penuh rimbunan semak dan pepohonan besar yang membuat daerah sana gelap dan lembab, daerah Tempuran juga dikenal wingit, sarang danyang dan dedemit. Padahal menurut cerita seorang yang pernah kesana, sungai daerah Tempuran dangkal, jernih, bersih, dan banyak ikannya. Tapi tak seorang pun berani memancing ataupun mandi disana, pamali katanya.

Warga Randu Alas menyebut daerah Tempuran wingit karena masih segar di ingatan mereka berpuluh tahun lalu, Rini, seorang anak desa Randu Alas hilang saat petang di sekitar rumahnya. Konon, petang adalah batas antara kehidupan manusia dan kehidupan gaib. Dunia gaib memulai aktifitas mereka kala petang menjelang. Kala itu warga desa geger. Mereka segera berlarian menuju dapur dan mengambil alat dapur entah piring, tutup panci, wajan, ataupun dandang.

"Bleg bleg ting!"
"Bleg bleg ting!"
Suara alat dapur mengumandang semalaman di seluruh penjuru desa. Tak peduli bagaimana bisa suara alat dapur mengembalikan seorang anak yang konon dibawa dedemit hitam besar bermata merah atau biasa disebut lampor itu. Namun, mitos yang tak masuk diakal tersebut benar adanya. Tepat tengah malam Rini ditemukan. Anehnya, Rini ditemukan di daerah Tempuran, jauh dari rumahnya. Anak itu terus menangis dan menggumam lirih "lampor, lampor, lampor".

Ingatan warga tentang lampor kemudian dikaitkan dengan meninggalnya mbah Giman.
Rumah mbah Giman jauh dari Tempuran, pun untuk urusan apa pula mbah Giman kesana. Banyak warga yang mengira mbah Giman dibawa lampor ke Tempuran dan karena sudah tua beliau terpeleset di sungai, pingsan, dan meninggal. Cerita itu yang dipercayai warga desa sebagai penyebab kematian mbah Giman walaupun beberapa warga menyangkal sebab mbah Giman ditemukan meninggal saat dini hari bukan petang atau malam hari.

*

Awalnya mbah Giman diketahui hilang. Pagi sekali ketika lewat sepertiga malam tercium bau gosong liwet nasi, saat itu mbah Giman yang menanak nasi. Istri mbah Giman terbangun menuju dapur mencari suaminya. Lama dicari dan dipanggil tapi tetap tak menyahut, istri mbah Giman panik dan membangunkan anaknya yang kebetulan berumah di dekat sana. Anak mbah Giman meminta tolong pada tetangga untuk mencari mbah Giman. Entah perihal apa yang membuat anak mbah Giman berani mencari ke daerah Tempuran, nyatanya mbah Giman ditemukan meninggal disana.

Tak ada yang tahu pasti penyebab meninggalnya mbah Giman, kecuali istrinya. Sehari sebelumnya mereka berbincang berdua saja.
"Wektuku meh entek, aku meh nglarung"** tutur mbah Giman.
Mereka berbincang perihal jimat wibawa yang berpuluh-puluh tahun dipakai mbah Giman yang harus dilarung menjelang ajal.

Sampai berminggu-minggu setelah jenazah mbah Giman dikebumikan, berita tentang penyebab meninggalnya masih terdengar. Dan istri mbah Giman hanya diam saja.

* kepiting sungai
** waktuku hampir habis, aku mau melarung

Selamat Berbahagia, Sahabat

'Ker, temenin ngopi, aku ke kosmu sekarang'
Sebaris chat muncul di layar handphone. Pukul 22.30, aku menggerutu, sahabatku tahu benar aku selalu tidur larut malam.

*

Namaku Kartini, bukan hanya karena lahir di bulan April, tapi Ayah juga sungguh berharap aku meneladani sosok pahlawan wanita tersebut. Kala itu aku dan Lala, sahabatku, membaca berdua. Ia sedang membaca buku Soe Hok-gie ketika tiba-tiba berinisiatif memanggilku dengan sebutan 'Ker' karena terinspirasi dari panggilan Soe Hok-gie pada teman dekat wanitanya, Kartini Nurmala Pandjaitan. Hanya dia yang memanggilku dengan sebutan itu.

"Bagaimana kalau panggilanmu aku ganti 'Ker' saja, Kartini itu nama tahun 1890an, Ker nama tahun 1960an, biar namamu tak terlalu lawas,"

Aku hanya tertawa tak peduli dan membiarkan dia berceloteh, idenya kadang aneh-aneh.

*

Tak berapa lama pintu kamar diketuk.
"Ayo!" kata gadis di depanku.

"Oi, malem banget, mengganggu saja," aku protes.

Dia hanya tertawa kecil.

"Selalu seperti ini ya, kita berdua perempuan di antara kopi dan laki-laki," kata Lala.

Aku menggangguk-angguk mengiyakan sambil menyesap latte kesukaanku.

"Ker, setelah ini apa?" tiba-tiba dia bertanya.

"Maksudmu?" aku mengernyitkan dahi.

"Ah iya, aku lupa belum bilang, dua bulan lagi aku menikah,"

Hampir saja aku tersedak.

"Ada laki-laki yang mau sama kamu?" sesungguhnya ini hanya guyonan, ia begitu cantik dan manis seperti gula-gula, aku tak pernah menghitung berapa lelaki yang suka padanya, yang kutahu cuma banyak tapi ia tak ambil peduli.

"Heem," tatapannya serius dan menerawang. Selanjutnya kami terdiam diantara obrolan laki-laki yang bisa kudengar tentang carut-marutnya negara ini.

"Kau pernah berpikir tentang kehidupan setelah menikah, Ker? mengurus suami dan anak-anak?"

Kuaduk-aduk latte yang sudah mulai dingin. Aku tahu kegelisahannya, sahabatku orang yang tak tahan harus bergelung dirumah saja, dia akan kebingungan kalau tak ada kegiatan, tipikal seorang petualang.

"Kalau kau masih berpikir seperti itu, kenapa kau mau menikah, La? ada kalanya orang-orang yang hobi bertualang akan mengubah prioritasnya, atau kau bahkan punya teman main baru,"

"Teman main baru, kadang kata-katamu benar juga," sebaris senyum tergambar di bibir Lala.

"Ah iya, siapa laki-laki itu?" aku balik bertanya.

"Besok aku kenalin, kamu sendiri gimana, Ker, udah bisa jatuh cinta lagi?" tanyanya menyelidik.

Ah, pertanyaan itu lagi. Aku hanya mengangkat bahu.
"Baru tahu urusan hati bisa serumit ini, La, mungkin karena menyangkut dengan siapa kita akan menghabiskan sisa usia. Terserah Tuhan saja,"

"Move on lah, laki-laki enggak cuma satu," katanya menggodaku.

Aku hanya meringis.

"Oh iya Ker, besok aku ikut suamiku kerja ke Papua, kapan kita bisa berdua lagi kaya gini ya? ngopi, baca, bertualang, dan menyumpahserapahi buku yang jelek berdua?"

Kami saling terdiam, bergumul dengan suara yang bergalau dalam hati. Sungguh aku bingung apa yang kurasakan, senang sekaligus kehilangan. Tapi apapun itu, dimanapun kamu, entah kapan kita akan bertemu, selamat menempuh hidup baru, selamat berbahagia, sahabatku......

Rumah Kertas Karya Carlos Maria Dominguez

"Buku tipis yang bisa menghantui pembaca jauh sesudah ditutup." (New York Times)
Tak berlebihan karena memang buku ini menghantui para pembacanya.

Bluma membaktikan hidupnya pada sastra tanpa pernah membayangkan bahwa sastralah yang akan merenggutnya dari dunia ini. Bu dosen Bluma Lennon meninggal ditabrak mobil saat ia menyusuri puisi karya Emily Dickinson. Kalimat pembuka buku ini. Mengerikan.

Dominguez menghantui pembaca (yang juga penggemar buku-buku) dengan menceritakan betapa banyak korban buku-buku, salah satunya Richard patah kaki waktu mencoba menjangkau 'Absalom, Absalom!' karya William Faulkner yang ditaruh menyempil di rak sampai ia terpelanting dari tangga dan masih banyak lagi. Buku itu berbahaya, tahu!

Diceritakan bahwa tokoh aku (narator) menggantikan Bluma di Jurusan Sastra Amerika Latin yang suatu pagi mendapatkan paket dengan alamat mendiang Bluma. tanpa ada alamat pengirimnya. Paket berisi buku yang penuh serpihan-serpihan semen dengan rangkaian kalimat persembahan karya Bluma. Terdorong rasa penasaran, narator mencari petualangan baru menemukan siapa pengirim buku tersebut.

Dominguez menelanjangi pemikiran dari para pecinta buku saat sampai pada bagian narator bertemu dengan Delgado, seorang bibliophile yang membawanya pada Carlos Brauer, si pengirim buku penuh serpihan semen. Dan Carlos Brauer, ia gila buku hingga menyemen buku-bukunya untuk dijadikan rumah dan membongkar rumahnya lagi demi memenuhi permintaan Bluma!. Persoalan buku bisa menjadi sangat menggelisahkan ternyata.

Sabtu, 18 Maret 2017

Aku Pulang Ke Desa Ibu

Aku pulang ke desa ibu. Desa yang juga menjadi desa ibu salah satu pahlawan revolusi, Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani. Dulu aku sering curi-curi melihat ke dalam rumahnya dan membayangkan peristiwa eksekusi dini hari 1 Oktober 1965 oleh pasukan Cakrabirawa walaupun tempat kejadian bukan disana. Keluarga besar Jenderal Ahmad Yani mempunyai yayasan yang kemudian mendirikan masjid dan sekolah di desaku yang diberi nama Masjid Ahmad Yani dan Sekolah Dasar Ahmad Yani. Nama dan bangunan masjid masih sama seperti dulu. Sekolahnya sudah direnovasi menjadi lebih bagus, tapi nama yang menjadi kebanggaan desa berganti menjadi Sekolah Dasar Negeri Rendeng.

Aku pulang ke desa ibu. Desa dimana air sungainya jernih, bersih, dan banyak dihuni ikan. Namun, sungai juga menakutkan. Ibu selalu bilang hati-hati kalau bermain di sungai, jangan ke sungai sekitar depok (nama dusun di desaku), konon disana ada buaya putih. Teman sepermainan pun diwanti-wanti begitu. Kami sering curi-curi melihat dari jauh sungai daerah depok tapi tak pernah sekalipun melihat buaya putih, kami hanya melihat air sungai yang tenang dan berwarna coklat pekat. Belakangan aku tahu kalau legenda buaya putih hanya digunakan untuk menakuti kami karena daerah sungai sekitar sana adalah kedung atau sungai yang dalam. Sekarang, sungai tak jernih lagi, ikan-ikan entah hilang kemana, dan ketika musim penghujan terkadang marah menumpahkan kelebihan airnya ke rumah-rumah warga desa.

Aku pulang ke desa ibu. Desa dimana setiap kali aku membuka pintu rumah terhampar pemandangan sawah dan bukit hijau. Sekarang, pemandangan bukit hijau terhalang perumahan yang entah dibangun oleh siapa.

Aku pulang ke desa ibu. Desa dimana setiap malam terdengar ramai suara anak-anak kecil yang bermain dibawah cahaya bulan. Sekarang, malam anak-anak hanya sekadar seperepisode sinetron di televisi.

Aku pulang ke desa ibu, desa dimana aku menghabiskan waktu bermain dengan teman sepermainan. Sekarang, hampir seluruh temanku sudah menikah dan berkeluarga. Mereka merantau ke kota dan aku hanya bertemu mereka kala Hari Raya.

Aku pulang ke desa ibu. Desa dimana sekali waktu ada kenduri dengan doa-doa agama Budha ataupun doa-doa agama Katolik. Warga desa punya rasa toleransi beragama yang tinggi dan tak pernah terdengar mereka saling dengki.

Aku pulang ke desa ibu. Desa yang tergerus perubahan tapi tetap bersahaja.

(Purworejo, Maret 2017)
*Cerita terinspirasi dari kampung halaman saya, Desa Rendeng, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo.

Kembali Ke Kotamu

Aku berangkat ke kotamu pagi sekali dengan bus yang kacanya berembun dan supir yang berkali-kali menguap. Kurapatkan jaket, hawa dingin menusuk tulang. Mungkin kau bisa mengira, atau bahkan tak mengira sama sekali aku selalu melakukan perbuatan bodoh ini setelah bertahun-tahun kita tak pernah menghabiskan waktu bersama; aku mencarimu di kota yang sudah tak kau tinggali.

"Kenapa aku selalu menyongsong masa laluku?."
Aku menyusuri setiap inchi sudut kota yang menyimpan kenangan akan kita. Bangunan-bangunan selalu berubah tapi masih sama, masih menertawaiku sebab seorang lelaki yang tak pernah bisa lepas dari kenangan.Tak pernah berhenti kukagumi keindahan kota yang penuh bangunan jaman kolonial ini. Kunikmati cerita sejarah dibaliknya dari seorang tua yang dari lahir bermukim disana. Beruntung bisa mendengar sejarah dari saksi mata, juga bisa membunuh waktuku di kotamu.

Aku duduk diam di tempat yang pernah kita singgahi, menghabiskan lembar buku-buku yang kuharap bisa menipuku karena kenangan selalu muncul begitu saja. Lalu, mataku sibuk memperhatikan lalu lalang orang dan berharap menemukan sosokmu walaupun aku tahu kau berada jauh ribuan kilometer dari sini. Kau pernah berkata kalau kita sudah tak bersama lagi kau akan pergi jauh, jauh sekali.

Kulihat jam di pergelangan tangan kiri. Dulu, kau selalu mengantarkanku ke tempat pemberhentian bus tepat pukul empat, menatapku lekat dengan tatapan -aku masih ingin bersamamu- tapi bagaimana lagi, agar tak kemalaman sampai kotaku katamu. Sampai sekarang aku masih mengikuti kata-katamu, pulang tepat pukul empat.

Seorang pernah berkata, rahasialah yang menjadikan seorang wanita benar-benar wanita, a secret makes a woman a woman. Aku mengingat lelaki yang setelahnya mengisi hariku, selalu mencari sosokmu yang ada padanya. Rasa ganjil mengalir dalam diri, bisakah manusia terbebas dari kenangan?.

(Solo, Maret 2017)