'Ker, temenin ngopi, aku ke kosmu sekarang'
Sebaris chat muncul di layar handphone. Pukul 22.30, aku menggerutu, sahabatku tahu benar aku selalu tidur larut malam.
*
Namaku Kartini, bukan hanya karena lahir di bulan April, tapi Ayah juga sungguh berharap aku meneladani sosok pahlawan wanita tersebut. Kala itu aku dan Lala, sahabatku, membaca berdua. Ia sedang membaca buku Soe Hok-gie ketika tiba-tiba berinisiatif memanggilku dengan sebutan 'Ker' karena terinspirasi dari panggilan Soe Hok-gie pada teman dekat wanitanya, Kartini Nurmala Pandjaitan. Hanya dia yang memanggilku dengan sebutan itu.
"Bagaimana kalau panggilanmu aku ganti 'Ker' saja, Kartini itu nama tahun 1890an, Ker nama tahun 1960an, biar namamu tak terlalu lawas,"
Aku hanya tertawa tak peduli dan membiarkan dia berceloteh, idenya kadang aneh-aneh.
*
Tak berapa lama pintu kamar diketuk.
"Ayo!" kata gadis di depanku.
"Oi, malem banget, mengganggu saja," aku protes.
Dia hanya tertawa kecil.
"Selalu seperti ini ya, kita berdua perempuan di antara kopi dan laki-laki," kata Lala.
Aku menggangguk-angguk mengiyakan sambil menyesap latte kesukaanku.
"Ker, setelah ini apa?" tiba-tiba dia bertanya.
"Maksudmu?" aku mengernyitkan dahi.
"Ah iya, aku lupa belum bilang, dua bulan lagi aku menikah,"
Hampir saja aku tersedak.
"Ada laki-laki yang mau sama kamu?" sesungguhnya ini hanya guyonan, ia begitu cantik dan manis seperti gula-gula, aku tak pernah menghitung berapa lelaki yang suka padanya, yang kutahu cuma banyak tapi ia tak ambil peduli.
"Heem," tatapannya serius dan menerawang. Selanjutnya kami terdiam diantara obrolan laki-laki yang bisa kudengar tentang carut-marutnya negara ini.
"Kau pernah berpikir tentang kehidupan setelah menikah, Ker? mengurus suami dan anak-anak?"
Kuaduk-aduk latte yang sudah mulai dingin. Aku tahu kegelisahannya, sahabatku orang yang tak tahan harus bergelung dirumah saja, dia akan kebingungan kalau tak ada kegiatan, tipikal seorang petualang.
"Kalau kau masih berpikir seperti itu, kenapa kau mau menikah, La? ada kalanya orang-orang yang hobi bertualang akan mengubah prioritasnya, atau kau bahkan punya teman main baru,"
"Teman main baru, kadang kata-katamu benar juga," sebaris senyum tergambar di bibir Lala.
"Ah iya, siapa laki-laki itu?" aku balik bertanya.
"Besok aku kenalin, kamu sendiri gimana, Ker, udah bisa jatuh cinta lagi?" tanyanya menyelidik.
Ah, pertanyaan itu lagi. Aku hanya mengangkat bahu.
"Baru tahu urusan hati bisa serumit ini, La, mungkin karena menyangkut dengan siapa kita akan menghabiskan sisa usia. Terserah Tuhan saja,"
"Move on lah, laki-laki enggak cuma satu," katanya menggodaku.
Aku hanya meringis.
"Oh iya Ker, besok aku ikut suamiku kerja ke Papua, kapan kita bisa berdua lagi kaya gini ya? ngopi, baca, bertualang, dan menyumpahserapahi buku yang jelek berdua?"
Kami saling terdiam, bergumul dengan suara yang bergalau dalam hati. Sungguh aku bingung apa yang kurasakan, senang sekaligus kehilangan. Tapi apapun itu, dimanapun kamu, entah kapan kita akan bertemu, selamat menempuh hidup baru, selamat berbahagia, sahabatku......