Sabtu, 18 Maret 2017

Aku Pulang Ke Desa Ibu

Aku pulang ke desa ibu. Desa yang juga menjadi desa ibu salah satu pahlawan revolusi, Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani. Dulu aku sering curi-curi melihat ke dalam rumahnya dan membayangkan peristiwa eksekusi dini hari 1 Oktober 1965 oleh pasukan Cakrabirawa walaupun tempat kejadian bukan disana. Keluarga besar Jenderal Ahmad Yani mempunyai yayasan yang kemudian mendirikan masjid dan sekolah di desaku yang diberi nama Masjid Ahmad Yani dan Sekolah Dasar Ahmad Yani. Nama dan bangunan masjid masih sama seperti dulu. Sekolahnya sudah direnovasi menjadi lebih bagus, tapi nama yang menjadi kebanggaan desa berganti menjadi Sekolah Dasar Negeri Rendeng.

Aku pulang ke desa ibu. Desa dimana air sungainya jernih, bersih, dan banyak dihuni ikan. Namun, sungai juga menakutkan. Ibu selalu bilang hati-hati kalau bermain di sungai, jangan ke sungai sekitar depok (nama dusun di desaku), konon disana ada buaya putih. Teman sepermainan pun diwanti-wanti begitu. Kami sering curi-curi melihat dari jauh sungai daerah depok tapi tak pernah sekalipun melihat buaya putih, kami hanya melihat air sungai yang tenang dan berwarna coklat pekat. Belakangan aku tahu kalau legenda buaya putih hanya digunakan untuk menakuti kami karena daerah sungai sekitar sana adalah kedung atau sungai yang dalam. Sekarang, sungai tak jernih lagi, ikan-ikan entah hilang kemana, dan ketika musim penghujan terkadang marah menumpahkan kelebihan airnya ke rumah-rumah warga desa.

Aku pulang ke desa ibu. Desa dimana setiap kali aku membuka pintu rumah terhampar pemandangan sawah dan bukit hijau. Sekarang, pemandangan bukit hijau terhalang perumahan yang entah dibangun oleh siapa.

Aku pulang ke desa ibu. Desa dimana setiap malam terdengar ramai suara anak-anak kecil yang bermain dibawah cahaya bulan. Sekarang, malam anak-anak hanya sekadar seperepisode sinetron di televisi.

Aku pulang ke desa ibu, desa dimana aku menghabiskan waktu bermain dengan teman sepermainan. Sekarang, hampir seluruh temanku sudah menikah dan berkeluarga. Mereka merantau ke kota dan aku hanya bertemu mereka kala Hari Raya.

Aku pulang ke desa ibu. Desa dimana sekali waktu ada kenduri dengan doa-doa agama Budha ataupun doa-doa agama Katolik. Warga desa punya rasa toleransi beragama yang tinggi dan tak pernah terdengar mereka saling dengki.

Aku pulang ke desa ibu. Desa yang tergerus perubahan tapi tetap bersahaja.

(Purworejo, Maret 2017)
*Cerita terinspirasi dari kampung halaman saya, Desa Rendeng, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo.

Kembali Ke Kotamu

Aku berangkat ke kotamu pagi sekali dengan bus yang kacanya berembun dan supir yang berkali-kali menguap. Kurapatkan jaket, hawa dingin menusuk tulang. Mungkin kau bisa mengira, atau bahkan tak mengira sama sekali aku selalu melakukan perbuatan bodoh ini setelah bertahun-tahun kita tak pernah menghabiskan waktu bersama; aku mencarimu di kota yang sudah tak kau tinggali.

"Kenapa aku selalu menyongsong masa laluku?."
Aku menyusuri setiap inchi sudut kota yang menyimpan kenangan akan kita. Bangunan-bangunan selalu berubah tapi masih sama, masih menertawaiku sebab seorang lelaki yang tak pernah bisa lepas dari kenangan.Tak pernah berhenti kukagumi keindahan kota yang penuh bangunan jaman kolonial ini. Kunikmati cerita sejarah dibaliknya dari seorang tua yang dari lahir bermukim disana. Beruntung bisa mendengar sejarah dari saksi mata, juga bisa membunuh waktuku di kotamu.

Aku duduk diam di tempat yang pernah kita singgahi, menghabiskan lembar buku-buku yang kuharap bisa menipuku karena kenangan selalu muncul begitu saja. Lalu, mataku sibuk memperhatikan lalu lalang orang dan berharap menemukan sosokmu walaupun aku tahu kau berada jauh ribuan kilometer dari sini. Kau pernah berkata kalau kita sudah tak bersama lagi kau akan pergi jauh, jauh sekali.

Kulihat jam di pergelangan tangan kiri. Dulu, kau selalu mengantarkanku ke tempat pemberhentian bus tepat pukul empat, menatapku lekat dengan tatapan -aku masih ingin bersamamu- tapi bagaimana lagi, agar tak kemalaman sampai kotaku katamu. Sampai sekarang aku masih mengikuti kata-katamu, pulang tepat pukul empat.

Seorang pernah berkata, rahasialah yang menjadikan seorang wanita benar-benar wanita, a secret makes a woman a woman. Aku mengingat lelaki yang setelahnya mengisi hariku, selalu mencari sosokmu yang ada padanya. Rasa ganjil mengalir dalam diri, bisakah manusia terbebas dari kenangan?.

(Solo, Maret 2017)