Aku pulang ke desa ibu. Desa yang juga menjadi desa ibu salah satu
pahlawan revolusi, Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani. Dulu aku sering
curi-curi melihat ke dalam rumahnya dan membayangkan peristiwa eksekusi
dini hari 1 Oktober 1965 oleh pasukan Cakrabirawa walaupun tempat
kejadian bukan disana. Keluarga besar Jenderal Ahmad Yani mempunyai
yayasan yang kemudian mendirikan masjid dan sekolah di desaku yang
diberi nama Masjid Ahmad Yani dan Sekolah Dasar Ahmad Yani. Nama dan bangunan
masjid masih sama seperti dulu. Sekolahnya sudah direnovasi menjadi
lebih bagus, tapi nama yang menjadi kebanggaan desa berganti menjadi
Sekolah Dasar Negeri Rendeng.
Aku pulang ke desa ibu. Desa dimana air sungainya jernih, bersih, dan
banyak dihuni ikan. Namun, sungai juga menakutkan. Ibu selalu bilang
hati-hati kalau bermain di sungai, jangan ke sungai sekitar depok (nama
dusun di desaku), konon disana ada buaya putih. Teman sepermainan pun
diwanti-wanti begitu. Kami sering curi-curi melihat dari jauh sungai
daerah depok tapi tak pernah sekalipun melihat buaya putih, kami hanya
melihat air sungai yang tenang dan berwarna coklat pekat. Belakangan aku
tahu kalau legenda buaya putih hanya digunakan untuk menakuti kami
karena daerah sungai sekitar sana adalah kedung atau sungai yang dalam.
Sekarang, sungai tak jernih lagi, ikan-ikan entah hilang kemana, dan
ketika musim penghujan terkadang marah menumpahkan kelebihan airnya ke
rumah-rumah warga desa.
Aku pulang ke desa ibu. Desa dimana setiap kali aku membuka pintu rumah terhampar pemandangan sawah dan bukit hijau. Sekarang, pemandangan bukit hijau terhalang perumahan yang entah dibangun oleh siapa.
Aku pulang ke desa ibu. Desa dimana setiap malam terdengar ramai suara anak-anak kecil yang bermain dibawah cahaya bulan. Sekarang, malam anak-anak hanya sekadar seperepisode sinetron di televisi.
Aku pulang ke desa ibu, desa dimana aku menghabiskan waktu bermain dengan teman sepermainan. Sekarang, hampir seluruh temanku sudah menikah dan berkeluarga. Mereka merantau ke kota dan aku hanya bertemu mereka kala Hari Raya.
Aku pulang ke desa ibu. Desa dimana sekali waktu ada kenduri dengan doa-doa agama Budha ataupun doa-doa agama Katolik. Warga desa punya rasa toleransi beragama yang tinggi dan tak pernah terdengar mereka saling dengki.
Aku pulang ke desa ibu. Desa yang tergerus perubahan tapi tetap bersahaja.
(Purworejo, Maret 2017)
Aku pulang ke desa ibu. Desa dimana setiap kali aku membuka pintu rumah terhampar pemandangan sawah dan bukit hijau. Sekarang, pemandangan bukit hijau terhalang perumahan yang entah dibangun oleh siapa.
Aku pulang ke desa ibu. Desa dimana setiap malam terdengar ramai suara anak-anak kecil yang bermain dibawah cahaya bulan. Sekarang, malam anak-anak hanya sekadar seperepisode sinetron di televisi.
Aku pulang ke desa ibu, desa dimana aku menghabiskan waktu bermain dengan teman sepermainan. Sekarang, hampir seluruh temanku sudah menikah dan berkeluarga. Mereka merantau ke kota dan aku hanya bertemu mereka kala Hari Raya.
Aku pulang ke desa ibu. Desa dimana sekali waktu ada kenduri dengan doa-doa agama Budha ataupun doa-doa agama Katolik. Warga desa punya rasa toleransi beragama yang tinggi dan tak pernah terdengar mereka saling dengki.
Aku pulang ke desa ibu. Desa yang tergerus perubahan tapi tetap bersahaja.
(Purworejo, Maret 2017)
*Cerita terinspirasi dari kampung halaman saya, Desa Rendeng, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo.